Ada sisi lain dalam dunia persekolahan di Indonesia, yakni dengan dikenalnya istilah nyontek (sontek, menyontek). Mungkin dan bisa jadi, istilah ini termasuk dalam kategori undercover. Nyontek sering kali dipahami dan merupakan sikap pecundang yang menginginkan hasil optimal tanpa harus bersusah payah. Biasanya, nyontek dilakukan oleh para siswa atau mahasiswa yang sedang mengerjakan soal ujian, dan yang bersangkutan tidak mempersiapkan penguasaan bahan/materi pelajaran yang memadai dengan berbagai alasan. Mereka menyontek pekerjaan temannya yang dianggap lebih pintar atau mengerjakan soal dengan jawaban yang dilihatnya dari catatan yang sudah dipersiapakan.
Catatan ini bisa berupa apa saja, buku-buku, atau catatan kecil lainnya.
Anak sekolah/mahasiswa yang menyontek biasanya menempati posisi yang ‘aman’ dari pengawas ujian. Biasanya di barisan belakang, atau yang terhalang oleh pengawas. Makanya, ada juga istilah yang cukup beken ‘posisi menentukan prestasi’. Istilah ini jangan-jangan merupakan metafora yang diambil dari pola kekuasaan dan jabatan di negeri kita, yang mana posisi jabatan seseorang sangat berpengaruh dan menentukan terhadap kekayaan pejabat tertentu.
Tentang hal yang satu ini, pernah seseorang menanyakan kepada saya tentang alasan tidak membeli atau mempunyai mobil. Yang bersangkutan membandingkan beberapa tetangga dan koleganya yang sama-sama menjadi pegawai pemerintah yang sudah berganti-ganti mobil. Dengan bijak saya mengatakan bahwa sejarah kehidupan seseorang tidaklah sama. Bisa jadi mereka memang sudah mapan dan boleh disebut kaya sebelum menjadi pegawai pemerintah. Karena, secara wajar gaji yang dapat dibawa pulang seorang pegawai pemerintah tidaklah memungkinkan seseorang sampai kepada gaya hidup bermobil. Okelah dalam tulisan ini saya tidak akan fokus pada hal ini. Lagian, rezeki kan bukan hanya dari gaji semata? Tuhan Maha-Pemberi-Rezeki.
Penyebab Menyontek
Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyontek. Ini di antaranya:
1. Ingin berhasil tanpa usaha yang melelahkan.
Seseorang harus memahami, bahkan harus hafal bahan-bahan pelajaran yang akan diujikan. Seorang pemalas biasanya ada saja alasan untuk tidak belajar atau membaca buku-buku yang dijadikan rujukan pembuatan soal ujian. Mestiya, berbekal kajian-kajian psikologi memungkinkan seseorang dapat memahami bahan ajar dengan mudah. Belajar yang menyenangkan mestinya juga memungkinkan siswa dapat belajar dengna enjoy juga semua informasi langsung melekat pada ingatannya (lihat bahasan tentang lupa dan ingatan).
2. Ingin membahagiakan pihak lain.
Katakanlah, siswa yang menginginkan pihak lain atau orang tuanya tersenyum bahagia melihat anaknya berprestasi dengan digambarkan pada perolehan angka-angka yang fantastis dalam nilai rapornya. Karena kurang persiapan, malas, atau alasan lainnya, ia memakai cara-cara yang bertentangan dengan mainstream yakni dengan menyontek. Ia tak memedulikan cara ini sesuai dengan norma-norma yang ada atau tidak ada. Baginya, yang terpenting adalah bisa menjawab soal-soal ujian dengan mudah karena melihat sontekan dan nilainya bagus. Titik. Padahal, kebahagian sejati para orang tua dapat dipastikan adalah perolehan nilai ujian anaknya tinggi, memuaskan, dan diraih dengan cara-cara elegan dan bermartabat.
3. Malu tidak disebut berprestasi.
Mengapa harus malu ketika tidak berprestasi? Jikalau memang belum bisa berprestasi sebaiknya mengakui saja kondisi ini. Tidak usah menggunakan segala cara yang tidak halal—sampai-sampai harus menggunakan cara pecundang. Prestasi itu bukan sesuatu yang bisa didapat dalam sekejap melalui kata-kata magic bim sala bim, tetapi harus diperjuangkan melalui ketekunan. Tubagus Wahyudi, pakar hipnotis dan public speaking terkenal, pernah mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menguasai sensorik power adalah dengan tetap melakukan ketekunan. Ketekunan dalam bidang ilmu, hobi, penelitian, dll akan membuat dan mengantarkan seseorang menjadi pakar pada bidang tertentu tersebut. Bahkan, hobi yang ditekuni dapat menjadi sumber penghasilan dan sandaran hidup.
Jadi, agar berprestasi ya janganlah menyontek. Tetapi, jalankanlah ketekunan dengan tetap membaca buku, baik sebelum maupun setelah bahan ajar itu dipresentasikan oleh guru atau dosen.
4. Bahan yang diujikan tidak menarik.
Mengapa tidak menarik? Kalau dibandingkan dengan pepatah “tidak ada orang yang bodoh di dunia ini melainkan malas”, maka sebenarnya tidak ada ujian yang tidak menarik. Yang ada adalah seseorang yang tidak bisa menyikapi sesuatu dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
5. Sistem pengawasan ujian yang longgar.
Pengawasan yang longgar dapat memunculkan ide bagi para pecundang untuk menyontek. Sedangkan pengawasan ujian yang ekstra ketat juga memungkinkan peserta menjadi lebih stres menghadapi soal-soal ujian.
Menyontek dan Kasus Ujian Nasioanl
Kalau diperhatikan sejak Ujian Nasional sebagai faktor penentu kelulusan seorang siswa dari sekolah yang ditetapkan oleh pemerintah, terjadi banyak kasus yang mana guru menjadi ‘tim sukses’. Mereka seabagai pengawas ujian, bukannya mengawasi jalannya ujian agar berjalan tertib dan aman, tetapi malahan memberikan jawaban kepada para peserta. Antarpengawas terjadi pemahaman TST (tahu sama tahu). Mengapa itu mereka lakukan? Banyak pihak beralasan; agar siswanya lulus ujian, karena kalau tidak dibantu akan banyak yang tidak lulus. Akibatnya, reputasi sekolahnya pun bisa hancur. Lebih-lebih sekolah swasta yang kualitasnya biasa saja (standar) yang mana mati hidupnya sangat bergantung pada penerimaan jumlah siswanya.
Dalam kasus ini sebenarnya seperti melihat lingkaran setan. Karena, banyak pihak menyatakan guru ditekan oleh kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah mengaku ditekan oleh ketua yayasan atau atasan langsungnya, seperti kepala dinas pendidikan atau kepala kantor cabang departemen yang ada di kabupaten yang menangani pendidikan. Dalam kasus ini, menyontek justru terjadi secara massif, dan bahkan ‘semi legal’, karena justru disponsori oleh para pengawas itu sendiri.
Ketika standar nilai yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi dijadikan sebagai alasan dan pembenaran memberikan sontekan—yang dalam pandangan saya standar tersebut masih terlalu rendah—maka mestinya standar itu ditetapkan lebih tinggi lagi. Katakanlah standar nilai dengan skala 0-10, maka yang lulus ujian adalah mereka yang mendapatkan nilai 75 persen atau 7,5. Seandainya mereka menganggap musthail, pertanyaan yang mestinya ditujukan pada pengelola sekolah adalah, “Selama ini mereka ngapain aja? Mengapa siswa belajar tiga tahun sampai tidak siap menghadapi soal ujian nasional? Yang salah siapa? Apa gurunya? Apa bahan ajarnya? Apa metodenya? Atau, sarananya?”
Dan, janganlah menyalahkan siswa karena siswa datang ke sekolah adalah untuk belajar. Belajar yang menurut KKBI adalah “proses perubahan tingkah laku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.”
Dan, janganlah pula menyalahkan soalnya yang terlalu tinggi. Dalam sebuah kesempatan pejabat Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pernah menyakatan bahwa soal matematika SD kelas 6 di Indonesia adalah yang paling mudah se-ASEAN. Bagaimana jika dibandingkan dengan kawasan lain? Bagaimana bila dibandingkan seasia? Sedunia? Wajarlah demikian, sehingga sampai-sampai Human Development Index (HDI) Indonesia merupakan yang paling rendah. Bahkan, katanya berada pada titik nadir, yaitu lebih rendah daripada Vietnam, negara yang belum terlalu lama bangkit dari sisa-sisa reruntuhan perang bersenjata melawan hegemoni Amerika Serikat (AS).
Akibat Menyontek
Bagi yang menyontek ketahuan oleh pengawas dapat dipastikan bagaimana kisah selanjutnya. Bisa dikeluarkan dari ruang ujian dan menanggung malu, dan bahkan lebih fatal lagi adalah adalah didiskualifikasi dan dinyatakan tidak lulus ujian. Hal ini pernah terjadi pada siswa di sebuah SLTA favorit di Jakarta Timur. Ia adalah siswa yang pintar dan rajin. Ia dikeluarkan dari ruang ujian bahkan tidak diluluskan bukan karena ia menyontek. Tetapi, yang ia lakukan adalah memberi sontekan pada yang lainnya. Bahkan, mestinya guru sebagai pengawas yang memberikan sontekan pada siswanya mestinya jugadikeluarkan dari jabatan atau profesinya, karena ia kontraproduktif dengan usaha-usaha sebelumnya, yaitu menanamkan banyak nilai dan norma bahwa siswa harus memegang kejujuran sekalipun langit akan runtuh.
Akibat lebih jauh ketika seseorang sudah lulus dari lembaga pendidikan maka ia tidak bisa menghadapi persoalan kehidupannya. Mengapa banyak produk sekolah yang menganggur? Jangan-jangan, itu karena penamanan nilai di sekolah mengalami kegagalan.
Menyontek dan Kreativitas
Kalau Anda menginginkan keberhasilan, hal ini bisa dilakukan dengan cara menyontek secara all out. Apa saja dunia yang Anda geluti? Katakalah seorang petani, ia bisa melakukan hal yang sama dengan petani lainnya ketika hasil panennya meningkat. Seorang pemusik juga demikian adanya. Sering kali seseorang yang bergelut di bidang musik diklaim sebagai plagiat gara-gara nada ciptaannya mirip dengan karya pemusik lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Ada juga yang berkilah bahwa, “Ya, wajar saja wong nada itu cuma tujuh, dari do dampai si.” Bagi seorang pengusaha juga bisa demikian. Bila ada bidang baru yang boleh dibilang sukses dan masih sepi pesaingnya, bisa disontek. Termasuk acara-acara televisi kita juga banyak yang menyontek acara serupa di belahan dunia lain.
Sedangkan bagi pelajar atau mahasiswa, menyonteklah secara kreatif. Artinya, jangan menyontek pada saat ujian berlangsung. Agar ujian dapat dijalankan dengan sukses, bacalah setiap bahan pelajaran atau buku yang dijadikan rujukan sebanyak tujuh kali. Karena, sebelum dibaca sebanyak tujuh kali, bahan rujukan masih berada di otak dan belum turun ke dada.
Hal ini sesuai dengan pepatah Arab yang menyatakan al ilmu fi al shudur la fi shutur, ilmu itu ada di dada bukan di lembar-lembar kertas. Artinya, mesti ada proses internalisasi dari apa-apa saja yang menjadi kajian seseorang agar tetap melekat pada ingatan berjangka lama (long term memory).
Andrias Harefa pernah menyatakan bahwa kunci seseorang agar kreatif adalah dengan “3 N”: niteni, niroke, nambahi. Atau, dalam bahasa lain yakni mencirikan, menirukan, dan menambahkan. Banyak kasus belajar justru dipahami sebagai proses peniruan. Contoh, anak kecil belajar berjalan, belajar berbicara, atau belajar apa saja adalah menirukan gerakan orang dewasa di sekelilinginya, terutama orang tuanya.
Artinya, sebelum mempunyai ide, langkah pertama bisa menirukan apa saja yang ada di sekelilingi kita. Sebagaimana halnya belajar menjahit baju. Pola dasar baju di mana saja dan kapan saja kan sama? Ada lengan, ada kerah, ada kancing, ada saku. Selebihnya adalah penambahan-penambahan di sana-sini akibat yang ditimbulkan dari proses kreativitas.
Jadi, menyontek di ruang ujian adalah tindakan yang tidak bijak, konyol, sembrono, serta tidak menghargai karunia Allah. Tuhan adalah Sang Maha-Pemberi akal pikiran yang luar biasa kepada setiap manusia. Menyontek sebagai bahan permulaan kreativitas dimungkinkan, karena bagaimanapun tidak ada yang original di dunia ini. Yang terjadi adalah proses kreatif yang terus-menerus untuk menciptakan produk, baik barang atau jasa, maupun produk kreatif lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar